Seperti yang kita ketahui, banyak software (perangkat lunak, atau
biasa disebut aplikasi yang dijalankan oleh komputer) yang beredar di
Indonesia, khususnya kota Medan. Kebanyakan rental-rental komputer,
warnet, institusi pemerintah, sekolah-sekolah, perguruan tinggi, maupun
pengguna rumahan yang menggunakan software bajakan. Software-software
yang dibajak termasuk sistem operasi (khususnya Microsoft Windows),
software untuk komputer grafis (Adobe Photoshop, 3D Studio Max, Maya,
CorelDRAW, dll), software untuk perkantoran (Microsoft Office), dan
masih banyak jenis-jenis software lainnya.
Saya tidak ingin hanya mengungkapkan keburukan bangsa tanpa
memberikan solusi untuk memperbaikinya. Mudah-mudahan apa yang saya
sampaikan didengarkan oleh pemerintah untuk kemudian dimusyawarahkan,
dan bila diterima dapat diterapkan untuk mengurangi tingkat pembajakan
software di Indonesia. Maraknya pembajakan software di Indonesia tak
lain didukung oleh pemerintah yang tampaknya tidak berniat untuk
mengurangi pembajakan. Sweeping software bajakan di kantor-kantor,
maupun rental dan toko-toko komputer, hanya dilakukan di beberapa tempat
di Indonesia, dan tampaknya masih belum terlihat hasilnya. Di kota
Medan sendiri masih banyak rental-rental komputer maupun warnet yang
masih menggunakan software bajakan. Ketakutan mereka akan sweeping
software bajakan hanya sementara. Beberapa warnet telah menggunakan
software open source (software open source ialah software yang dapat
dipakai, dimodifikasi, dan dapat didistribusikan kembali tanpa dikenakan
biaya sepeser pun alias gratis). Tetapi, karena melihat warnet-warnet
lain yang masih beroperasi menggunakan software bajakan, mereka kembali
menggantinya dengan software bajakan. Jarang warnet yang bertahan
menggunakan software open source karena para pelanggan lebih familiar
dengan sistem operasi Microsoft Windows, sistem operasi favorit untuk
dibajak. Kurangnya himbauan pemerintah untuk mengajak pengguna komputer
di Indonesia untuk tidak memakai software bajakan juga termasuk salah
satu penyebabnya. Tampaknya pemerintah masih menganggap masalah
pembajakan software sebagai masalah yang tidak terlalu besar. Road show
software open source yang dilakukan oleh segelintir orang yang peduli
terhadap masalah pembajakan kurang diminati. Tingginya angka penjualan
software bajakan turut memperparah tingkat pembajakan di Indonesia. Para
penjual ini dengan tenang menjual software bajakan karena pemerintah
sepertinya tidak berusaha menghentikan mereka. Situasi pembajakan yang
memang sudah sangat parah dilengkapi dengan mudahnya mendownload
software-software ilegal dari Internet. Pembajakan yang telah nyata di
depan mata saja tidak dapat dihentikan oleh pemerintah apalagi
pembajakan yang dilakukan melalui Internet. Sepertinya, masa depan
pertukaran software-software ilegal melalui Internet sangat cerah. Para
penggemar software bajakan seharusnya gembira dengan keadaan ini. Dan
yang paling parah, menurut saya, adalah institusi pendidikan. Mengapa?
Karena disitulah terletak akar pembajakan software. Institusi
pendidikan, walaupun tidak semua, yang seharusnya mendidik
murid-muridnya menjadi orang yang kaya ilmu, ternyata turut berperan
serta dalam menyuburkan pembajakan di negeri Indonesia yang tercinta.
Kebiasaan menggunakan software bajakan di institusi pendidikan
menanamkan benih-benih ketergantungan terhadap software tertentu, yang
dalam hal ini merupakan software yang paling banyak dibajak.
Software-software tersebut adalah Microsoft Windows
(95/98/Me/NT/XP/2000/2003), sebuah software sistem operasi, software
yang menerjemahkan perintah yang diberikan manusia agar dapat dipahami
oleh hardware, sehingga hardware dapat melakukan tugasnya sesuai dengan
perintah manusia. Sistem operasi merupakan software yang mutlak terdapat
di setiap komputer, karena tanpa sistem operasi, komputer hanya
merupakan barang elektronik yang tidak dapat melakukan apa-apa. Selain
sistem operasi, software yang sering dibajak ialah Microsoft Office
(Microsoft Word, Microsoft Excel, Microsoft Access, Microsoft
PowerPoint). Software ini digunakan untuk aplikasi perkantoran. Software
untuk komputer grafis juga tak luput dari pembajakan. Misalnya, Adobe
Photoshop, sebuah software untuk mengolah gambar, 3D Studio Max, sebuah
software untuk membuat model tiga dimensi, CorelDRAW, sebuah software
untuk mengolah gambar vektor, dan masih banyak software-software lainnya
seperti AutoCAD, Adobe Illustrator, Macromedia Flash, dan lain-lain.
Saya masih ingat ketika saya duduk di bangku SMP, saya ikut les
komputer. Di kelas, instruktur membagi-bagikan disket-disket yang berisi
sistem operasi DOS serta aplikasi perkantoran yaitu wordstar dan lotus.
Untuk membeli disket beserta sistem operasi dan aplikasi perkantoran,
kami, para murid, hanya mengeluarkan beberapa ribu rupiah saja. Tidak
ada pengetahuan saya mengenai legal atau ilegal, status sistem operasi
dan aplikasi yang kami gunakan tersebut. Waktu terus berputar, hingga
saya duduk di bangku SMU. Di SMU juga ada kewajiban untuk mengikuti les
komputer. Keadaannya sama, instruktur menukar disket-disket yang berisi
sistem operasi DOS dan aplikasi perkantoran dengan beberapa rupiah saja.
Dan lagi, tidak ada pengetahuan saya mengenai status sistem operasi dan
aplikasi tersebut. Setamat dari SMU saya mengikuti kursus komputer di
sebuah institusi pendidikan swasta, kali ini saya tidak diberikan disket
berisi sistem operasi beserta aplikasinya. Seingat saya, sistem operasi
yang digunakan di tempat kursus tersebut adalah Microsoft Windows 95
dengan aplikasi perkantoran Microsoft Office 97. Tak berapa lama setelah
saya kuliah, saya membeli sebuah komputer. Ketika membeli komputer
tersebut, penjual menawarkan sistem operasi dan aplikasi apa saja yang
akan diinstal di komputer tersebut. Tentu saja saya memilih Microsoft
Windows dengan aplikasi perkantoran Microsoft Office. Serta beberapa
aplikasi grafis yang saya pelajari ketika kursus. Tidak ada tambahan
harga ketika saya memilih aplikasi-aplikasi tersebut. Tambahan harga
sebesar 25000 rupiah hanya dikenakan apabila saya meminta teknisi
menginstal aplikasi lain setelah komputer tiba di rumah. Sampai saat
itu, saya masih menganggap bahwa bila saya membeli komputer, maka saya
sudah mendapat sistem operasi beserta aplikasi yang dibutuhkan. Bila
saya ingin menambah aplikasi, saya dapat membeli di toko-toko penjual CD
software (tentu saja bajakan) yang banyak terdapat di plaza-plaza
seharga 20000 rupiah, kemudian menginstalnya sendiri di rumah, atau
meminta bantuan teknisi. Hingga akhirnya saya membaca sebuah majalah
komputer dan tersadar bahwa sebenarnya sistem operasi Microsoft Windows,
aplikasi perkantoran Microsoft Office, dan beberapa software grafis
yang saya gunakan ternyata harganya sangat mahal, untuk ukuran mahasiswa
seperti saya. Bayangkan saja, harga sistem operasi Microsoft Windows XP
Professional SP2 ternyata sekitar 2,7 juta rupiah ($295 dengan kurs Rp
9250 per dolar AS pada tanggal 20 Maret 2006, sumber: Bhinneka.com),
sedangkan Microsoft Office 2003 sekitar 3,3 juta ($362 dengan kurs Rp
9250 per dolar AS pada tanggal 20 Maret 2006, sumber: Bhinneka.com).
Belum lagi harga-harga software grafis yang mencapai puluhan juta
rupiah. Waduh, mana sanggup saya membelinya.
Dari pengalaman yang saya alami, tidak banyak institusi pendidikan
ataupun toko komputer (atau bahkan tidak ada?) yang menerangkan bahwa
sistem operasi dan aplikasi dijual terpisah dengan hardware komputer.
Orang-orang awam akan menyangka apabila mereka membeli komputer, maka
yang dibeli sudah termasuk sistem operasi beserta aplikasi perkantoran
atau aplikasi-aplikasi lainnya. Informasi-informasi seperti ini
selayaknya disediakan oleh insitusi-institusi pendidikan maupun penjual
komputer. Yang menarik lagi, institusi pendidikan sangat mempengaruhi
kebiasaan murid-muridnya. Karena sudah terbiasa memakai Microsoft
Windows, maka ketika membeli sebuah komputer, permintaan yang diajukan
untuk sistem operasi ialah Microsoft Windows. Begitu juga dengan
aplikasi-aplikasi yang lain. Sebenarnya, tidak ada yang salah bila
seseorang menggunakan Microsoft Windows, Microsoft Office ataupun
software-software lainnya, dengan syarat, software-software tersebut
diperoleh secara legal, bukan melalui pembajakan seperti yang kebanyakan
terjadi di Indonesia. Di kepala murid-murid telah tertanam kebiasaan
yang sulit untuk ditinggalkan. Sayangnya, kebiasaan tersebut ialah
kebiasaan menggunakan software bajakan. Karena sudah terbiasa, maka
menggunakan software bajakan dianggap bukan merupakan masalah yang
serius.
Karena semua berawal dari institusi pendidikan, maka yang harus
diperbaiki adalah institusi pendidikan. Pemerintah, yang dengan
seenaknya mengubah SMA (Sekolah Menengah Atas) menjadi SMU (Sekolah
Menengah Umum) kemudian kembali menjadi SMA dan mengubah sistem semester
menjadi cawu, kemudian kembali menjadi semester, seharusnya dengan
mudah “memaksa” sekolah-sekolah atau perguruan tinggi yang ada untuk
mengganti seluruh software bajakan yang terinstal dengan
software-software open source. Sebagai bahan pertimbangan, sistem
operasi Linux, yang sedang populer akhir-akhir ini, yang menawarkan
kemudahan penggunaannya, dapat digunakan untuk menggantikan sistem
operasi bajakan. Dan biasanya, di dalam instalasi sistem operasi Linux,
sudah tersedia software perkantoran (misalnya: OpenOffice), grafis
(misalnya: GIMP, blender), maupun multimedia (misalnya: XMMS), sehingga
kita tidak perlu repot-repot mencari software-software pendukung
lainnya. Dengan harga yang relatif murah (bahkan gratis), biaya
pengadaan komputer untuk membeli software yang asli dapat ditekan.
Pengguna bahkan sudah dimanjakan dengan kemudahan instalasi yang
berbasis GUI (Graphical User Interface). Apabila sudah tertanam di
kepala murid-murid untuk menggunakan sistem operasi open source
(misalnya: Linux) dan software open source lainnya, kemungkinan besar,
bila mereka ingin membeli komputer, yang diminta adalah yang mirip
dengan yang biasanya mereka pakai, yaitu komputer dengan sistem operasi
Linux. Mau tidak mau, karena tuntutan pasar, penjual komputer
menyediakan komputer dengan sistem operasi Linux. Selain itu, bila para
pelajar tidak membeli komputer, melainkan menggunakan jasa rental
komputer atau warnet, tentu mereka mencari rental komputer atau warnet
yang sistem operasinya Linux, karena mereka lebih familiar dengan sistem
operasi tersebut. Karena banyak pelanggan jasa rental komputer dan
warnet dari kalangan pelajar, mau tidak mau, pengusaha rental komputer
maupun warnet mengubah sistem operasi mereka menjadi Linux. Efek yang
terjadi adalah efek domino, bila kita mengubah satu bagian, maka bagian
yang lain akan turut berubah, mengikuti perubahan bagian yang
sebelumnya. Tetapi, bagaimana dengan orang-orang yang sudah terlanjur
cinta dan memakai software bajakan? Mereka ibaratnya pesakitan yang
sudah tidak ada kemungkinan untuk disembuhkan lagi. Biarkan saja. Syukur
apabila mereka dapat beradaptasi. Sebaiknya mencegah generasi baru agar
tidak tertular penyakit daripada terus berusaha menyembuhkan pesakitan
yang kecil kemungkinannya untuk disembuhkan.
Opini yang saya lemparkan ini belum pernah diuji coba. Tidak
diketahui hasil sebenarnya apabila seluruh institusi pendidikan
menggunakan software open source. Masih perlu dipertimbangkan dan dikaji
sebelum diimplementasikan. Harapan saya adalah, berkurangnya tingkat
pembajakan (pembajakan never die!) di Indonesia, sehingga meningkatkan
kreativitas anak bangsa untuk membuat software tanpa takut dibajak oleh
pihak yang tidak menghargai hak atas kekayaan intelektual
seseorang/kelompok. Amin. Jayalah Indonesia!!! (dg)
NB: Blog ini juga dapat dilihat di http://danigoen.blogs.friendster.com/my_blog/2006/03/mengurangi_peng_1.html.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar